BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sebuah organisasi atau perusahaan kemampuan
manajer untuk dapat
menjalin hubungan yang baik antar tingkatan tentu sangatlah dibutuhkan. Hubungan
yang baik diantara atasan dan bawahan akan mendorong suasana kerja yang
kondusif dan minim risiko. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membangun
hubungan baik tersebut antara lain adalah dengan cara membangun motivasi secara
baik karena motivasi itu dapat berasal dari luar individu dan bisa juga berasal
dari dalam individu itu sendiri.
Motivasi merupakan
kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan, dan memelihara perilaku manusia.
Motivasi ini merupakan subyek yang penting bagi manajer, karena manajer harus
memiliki kerjasama yang baik yang
dicerminkan dengan bekerja bersama orang lain di perusahaan ataupun dalam
lingkup organisasi. Manajer perlu memahami orang-orang yang memiliki beragam kaekteristik
tertentu agar dapat mempengaruhinya untuk bekerja sesuai dengan yang diinginkan
organisasi. Motivasi tidak dapat diamati atau diukur secara langsung, akan tetapi harus disimpulkan dari
perilaku orang yang tampak.
Banyak istilah yang
digunakan untuk menyebut motivasi (motivation)
atau motif, antara lain kebutuhan (need),
desakan (urge), keinginan (wish), dan dorongan (drive). Dalam hal ini akan digunakan
istilah motivasi, yang diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang
mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna
mencapai tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong
yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan dirinya.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan tentang motivasi dalam
organisasi?
2. Bagaimana
pengklasifikasian dalam teori motivasi?
3. Apa sajakah jenis-jenis motivasi?
1.3
Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui berbagai pandangan tentang motivasi dalam organisasi
2. Untuk
mengetahui klasifikasi dalam teori motivasi
3. Untuk mengetahui jenis-jenis motivasi
1.3.2 Manfaat
Untuk menambah
pengetahuan, wawasan, dan bahan bacaan tentang tata cara penulisan karya ilmiah
serta sebagai perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1
Pandangan tentang Motivasi dalam Organisasi
Perkembangan teori
manajemen juga mencakup model atau teori motivasi. Berikut ini akan dibahas
tiga diantara model motivasi dengan urutan atas dasar kemunculannya, yaitu
model tradisional, model hubungan manusiawi, dan
model sumber daya manusiawi. Pandangan manajer yang berbeda tentang
masing-masing model adalah salah
satu penentu
penting guna mencapai
keberhasilan mereka dalam mengelola karyawan.
Kata motivasi (motivation) kata dasarnya adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab
atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu
kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu
perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar. Dari pengertian tesebut
berarti pula semua teori motivasi bertolak dari prinsip utama bahwa: “manusia
(seseorang) hanya melakukan kegiatan yang menyenangkannya untuk dilakukan.”
Prinsip itu tidak menutup kondisi bahwa dalam keadaan terpaksa seseorang
mungkin saja melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Dalam kenyataannya
kegiatan yang didorong oleh sesuatu yang tidak disukai berupa kagiatan yang
terpaksa dilakukan, cenderung berlangsung tidak efektif dan tidak efisien.
Dengan demikian berarti juga yang menjadi prinsip utama dari segi psikologis,
bagi manajemen di muka bumi adalah menciptakan kondisi yang mampu mendorong
setiap pekerja agar melaksanakan tugas-tugasnya dengan rasa senang dan puas.
Dengan kata lain manajemen sebagai proses mendayagunakan orang lain untuk
mencapai suatu tujuan, hanya akan berlangsung efektif dan efesien, jika para
manajer mampu memotivasi para pekerja dalam melaksanakan tugas-tugas dan
tanggung jawabnya.
1.
Model Tradisional
Model
tradisional dari motivasi berhubungan dengan Frederick Taylor dan aliran
manajemen ilmiah. Model ini mengisyaratkan bahwa manajer harus bisa menentukan pekerjaan-pekerjaan
yang akan dilakukan dan
digunakannya. Contohnya adalah
dengan cara menggunakan sistem pengupahan intensif untuk memotivasi para
pekerja yang diharapkan
nantinya akan meningkatkan produktivitas dari para pekerja itu sendiri.
2.
Model Hubungan Manusiawi
Banyak
praktek manajemen merasakan bahwa pendekatan tradisional tidak memadai. Kontak
social karyawan pada pekerjaan
yang dilakukannya memiliki pernanan penting bahwa kebosanan dan tugas yang
bersifat pengulanagan adalah
salah satu faktor pengurang motivasi. Pemenuhan motivasi para bawahan atau pekerja melalui pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan sosial maka
akan membuat mereka merasa berguna dan penting.
3.
Model Sumber Daya Manusia
Para
teoritis seperti McGregor, Maslow, dan para peneliti seperti
Argyris dan Likert, memberikan
pandangan yang berbeda pada model
hubungan manusiawi.
Model ini menyatakan bahwa para karyawan dimotivasi oleh banyak faktor, tidak
hanya uang atau keinginan untuk mencapai kepuasan, tetapi juga kebutuhan untuk
berprestasi dan memperoleh pekerjaan yang berarti. Mereka beralasan bahwa
kebanyakan orang telah dimotivasi untuk melakukan pekerjaan secara baik, mereka
tidak secara otomatis melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang tidak
menyenangkan. Mereka mengemukakan bahwa para karyawan lebih menyukai pemenuhan
kepuasan dari suatu prestasi kerja yang baik. Jadi, karyawan dapat diberi
tanggung jawab yang lebih besar untuk pembuatan keputusan-keputusan dan
pelaksaan tugas tertentu.
2.2
Teori-teori Motivasi
2.2.1 Teori Isi
Teori isi dari motivasi
memusatkan perhatiannya pada penyebab-penyebab perilaku terjadi dan terhenti. Yakni terpusat pada (1) kebutuhan, motif ataupun dorongan yang mendorong,
menekan, memacu, dan menguatkan karyawan untuk melakukan kegiatan (2)
hubungan-hubungan para karyawan dengan faktor-faktor eksternal (insentif) yang
menyarankan, menyebabkan, mendorong, dan mempengaruhi mereka untuk melaksanakan
suatu kegiatan. Teori isi menekankan pentingnya pengertian akan faktor-faktor
internal individu tersebut, kebutuhan atau motif yang menyebabkan mereka
memilih kegiatan, cara dan perilaku tertentu untuk memuaskan kebutuhan yang
dirasakan. Faktor-faktor eksternal, seperti gaji, kondisi kerja, hubungan
kerja, dan kebijaksanaan perusahaan tentang kenaikan pangkat, delegasi
wewenang, dan sebagainya, memberikan nilai atau kegunaan untuk mendapatkan
perilku karyawan yang positif dalam usaha pencapaian tujuan organisasi.
a.
Hirarki Kebutuhan dari Maslow
Maslow mendasarkan konsep hirarki kebutuhan pada dua
prinsip. Pertama, kebutuhan-kebutuhan manusia dapat disusun dalam suatu hirarki
dari kebutuhan terendah sampai yang tertinggi. Kedua, suatu kebutuhan yang
telah terpuaskan berhenti menjadi motivator utama dari perilaku. Hirarki
kebutuhan menurut Maslow antara lain adalah :
1. Kebutuhan
fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, perlindungan fisik, bernapas,
seksual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah atau disebut pula
sebagai kebutuhan yang paling dasar
2. Kebutuhan
rasa aman, yaitu kebutuhan akan perlindungan diri dari ancaman, bahaya,
pertentangan, dan lingkungan hidup
3. Kebutuhan
untuk rasa memiliki (sosial), yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok,
berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai
4. Kebutuhan
akan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain
5. Kebutuhan
untuk mengaktualisasikan diri, yaitu kebutuhan untuk menggunakan kemampuan,
skill dan potensi. Kebutuhan untuk berpendapat dengan mengemukakan ide-ide,
gagasan dan kritik terhadap sesuatu
Kebutuhan-kebutuhan
yang disebut pertama dan kedua kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain,
misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang
lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara
membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas ialah bahwa sifat, jenis
dan intensitas kebutuhan manusia berbeda dari satu orang dengan orang lain
karena manusia merupakan makhluk individu yang khas. Juga jelas bahwa kebutuhan
manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi juga bersifat
psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik
pula untuk mencatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat dan makin dalamnya pemahaman tentang pentingnya unsur
manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin
disempurnakan. Bahkan dapat dikatakan mengalami “koreksi.”
Penyempurnaan
atau “koreksi” tersebut diarahkan terutama pada konsep “hierarki kebutuhan”
yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartika sebagai
tingkatan. Atau secara analogi berarti “anak tangga.” Logikanya ialah bahwa
menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga pertama, kedua, ketiga
dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan
manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat
kedua – dalam hal ini keamanan – sebelum kebutuhan tingkat pertama – yaitu
sandang, pangan, dan papan – terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan
pemuasannya sebelum seseorang merasa aman. Demikian seterusnya.
Berangkat
dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia semakin
mendalam, penyempurnaan dan “koreksi” tersebut dirasakan bukan hanya tepat,
akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha
pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya,
sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin
menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia
digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini
perlu ditekankan bahwa:
a.
kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat
mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b.
pemuasan berbagai kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan
kualitatif dalam pemuasannya;
c.
berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai
“titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi
dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Ketiga
hal di atas didukung oleh berbagai teori motivasi lainnya yang dikembangkan
kemudian oleh para pakar lain.
b.
Teori Motivasi ― Pemeliharaan dari
Herzberg
Faktor-faktor
penyebab kepuasan kerja (job
satisfaction) mempunyai pengaruh pendorong bagi prestasi dan semangat kerja
adalah factor yang memiliki pengaruh
positif. Sedangkan faktor-faktor penyebab ketidakpuasan
kerja (job dissatisfaction) mempunyai
pengaruh negative sehingga membedakan
antara “motivator”, “pemuas” (satisfiers)
dan “faktor-faktor pemeliharaan” (kadang-kadang disebut “hygienic factors”) atau “dissatisfiers”.
Motivator mempunyai pengaruh meningkatkan prestasi atau kepuasan kerja.
Faktor-faktor pemeliharaan mencegah merosotnya semangat kerja atau efisiensi. Meskipun
faktor-faktor ini tidak dapat memotivasi, tetapi dapat menimbulkan ketidakpuasan
kerja atau menurunkan produktivitas. Perbaikan terhadap faktor-faktor
pemeliharaan akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan kerja, tetapi
tidak dapat digunakan sebagai sumber kepuasan kerja. Faktor-faktor ini dapat dimisalkan sebagai pasta gigi. Penyikatan
gigi secara teratur tidak akan memperbaikinya, tetapi hal itu membantu pencegahan
kerusakan lebih lanjut.
Secara
ringkas, penemuan penting dari penelitian Herzberg adalah bahwa manajer perlu untuk dapat memahami faktor-faktor
apa yang dapat digunakan untuk memotivasi karyawan. Faktor
ini antara lain adalah faktor prestasi (achievement),
faktor pengakuan/penghargaan, faktor tanggung jawab, faktor memperoleh kemajuan
dan perkembangan dalam bekerja khususnya promosi, dan faktor pekerjaan itu
sendiri. Faktor ini terkait dengan kebutuhan pada urutan yang tinggi dalam
teori Maslow. Kebutuhan
Kesehatan Lingkungan Kerja (Hygiene Factors). Faktor ini dapat berbentuk
upah/gaji, hubungan antara pekerja, supervisi teknis, kondisi kerja, kebiksanaan
perusahaan, dan proses administrasidi perusahaan. Faktor ini terkait dengan
kebutuhan pada urutan yang lebih rendah dalam teori Maslow. Dalam
implementasinya di lingkungan organisasi/perusahaan, teori ini menekankan
pentingnya menciptakan/mewujudkan keseimbangan antara kedua faktor tersebut. Salah
satu diantaranya yang tidak terpenuhi, akan mengakibatkan pekerjaan menjadi
tidak efektif dan tidak efisien.
c.
Teori Prestasi dari McClelland
David McClelland dan para penelliti lainnya
menemukakan bahwa ada korelasi positif antara kebutuhan berprestasi dengan
prestasi dan sukses pelaksanaan. McClelland, melalui risetnya, menemukan bahwa
para usahawan, ilmuan dan profesional mempunyai tingkat motivasi prestasi di
atas rata-rata. Motivasi seorang pengusaha tidak semata-mata ingin mencapai
keuntungan (laba)
itu sendiri, tetapi karena dia mempunyai keinginan yang kuat untuk berprestasi.
Keuntungan (laba) hanyalah suatu ukuran sederhana yang menunjukkan seberapa
baik pekerjaan telah dilakukan, tetapi tidak sepenting tujuan itu sendiri.
McClelland
juga menemukan bahwa kebutuhan prestasi tersebut dapat dikembangkan pada orang
dewasa. Orang-orang yang berorientasi prestasi mempunyai karakteristik-karakteristik
tertentu yang dapat dikembangkan, yaitu:
1. Menyukai
pengambilan risiko yang layak (moderat) sebagai fungsi keterampilan, bukan
kesempatan; menyukai suatu tantangan; dan menginginkan tanggung jawab pribadi
bagi hasil-hasil yang dicapai.
2. Mempunyai
kecenderungan untuk menetapkan tujuan-tujuan prestasi yang layak dan menghadapi
risiko yang sudah diperhitungkan. Salah satu alasan mengapa banyak perusahaan
berpindah ke program management by objectives (MBO) adalah karena adanya
korelasi positif antara penetapan tujuan dan tingkat prestasi.
3. Mempunyai
kebutuhan yang kuat akan umpan balik tentang apa yang telah dikerjakannya.
4. Mempunyai
keterampilan dalam perencanaan jangka panjang dan memiliki kemampuan-kemampuan
organisasional.
d.
Teori Clayton Alderfer
Bagi mereka
yang senang mendalami teori motivasi, bukan merupakan hal baru apabila
dikatakan bahwa teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG”. Akronim “ERG”
dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah, yaitu:
E =
Existence
R =
Relatedness
G =
Growth
Jika
makna ketiga istilah tersebut di dalami akan terlihat dua hal penting. Pertama,
secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan
oleh Maslow dan Alderfer karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki
pertama dan kedua dalam teori Maslow; “Relatedness” senada dengan hierarki
ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna yang
sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer
menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya
secara serentak.
Apabila
teori Alderfer disimak lebih lanjut akan terlihat bahwa:
a.
makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan
tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
b.
kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang
“lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang “lebih rendah” telah
dipuaskan;
c.
sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan
yang tingkatnya lebih tingi, semakin besar keinginan untuk memuaskan kebutuhan
yang lebih mendasar.
Tampaknya
pandangan ini didasarkan pada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinnya, karena
menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi
obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya pada
hal-hal yang mungkin dicapainya.
2.2.2 Teori-teori Proses
Teori-teori sebelumnya
memusatkan diri pada kebutuhan-kebutuhan yang mendorong atau memacu perilaku
dan insentif-insentif yang menarik atau menyebabkan perilaku. Sedangkan,
teori-teori proses berkenaan dengan bagaimana perilaku timbul dan dijalankan.
a. Teori
Pengharapan
Teori
pengharapan menyatakan bahwa perilaku kerja karyawan pada kenyataannya menentukan terlebih
dahulu perilaku mereka yang dapat dijalankan dan nilai yang diperkirakan
sebagai hasil-hasil alternatif dari perilakunya. Sebagai contoh, bila seorang
karyawan mengharapkan bahwa menyelesaikan pekerjaan pada waktunya akan
memperoleh penghargaan, maka dia akan dimotivasi untuk memenuhi sasaran
tersebut.
Menurut
Victor Vroom, dikenal sebagai teori nilai ― penghargaan Vroom, orang dimotivasi untuk bekerja bila mereka
(1) mengharapkan usaha-usaha yang ditingkatkan akan mengarahkan ke balas jasa
tertentu, dan (2) menilai balas jasa sebagai hasil dari usaha-usaha mereka.
Teori
ini juga berpegang pada prinsip yang mengatakan: “terdapat hubungan yang erat
antara pengertian seseorang mengenai suatu tingkah laku, dengan hasil yang
ingin diperolehnya sebagai harapan.” Dengan demikian berarti juga harapan
merupakan energi penggerak untuk melakukan suatu kegiatan, yang karena terarah
untuk mencapai sesuatu yang diinginkan disebut “usaha.” Usaha di lingkungan
para pakerja dilakukan berupa kegiatan yang disebut bekerja, pada dasarnya
didorong oleh harapan tertentu.
Usaha
yang dapat dilakukan pekerja sebagai individu dipengaruhi oleh jenis dan
kualitas kemampuan yang dimilikinya, yang diwujudkannya berupa
keterampilan/keahlian dalam bekerja. Berdasarkan jenis dan kualitas
keterampilan/keahlian dalam bekerja akan diperoleh hasil, yang jika sesuai
dengan harapan akan dirasakan sebagai ganjaran yang memberikan rasa kepuasan.
Implementasinya
di lingkungan sebuah perusahaan dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Manajer
perlu membantu para pekerja memahami tugas-tugas/pekerjaannya, dihubungkan dengan
kemampuan atau jenis dan kualitas keterampilan/keahlian yang dimilikinya.
2. Berdasarkan
pengertian itu, manajer perlu membantu para pekerja agar memiliki harapan yang
realistis, yang tidak berlebih-lebihan. Harapannya tidak melampaui usaha yang
dapat dilakukannyasesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Manajer
perlu membantu para pekerja dalam meningkatkan keterampilan/keahliannya dalam
bekerja, yang dapat meningkatkan harapannya, dan akan meningkatkan pula
usahanya melalui pelaksanaan pekerjaan yang semakin efektif dan efisien.
b. Pembentukan
Perilaku
Pendekatan ini didasarkan terutamaatas hukum
pengaruh (law of effect), yang
menyatakan bahwa perilaku yang diikuti konsekuensi pemuasan cenderung diulang,
sedangkan perilaku yang diikuti konsekuensi hukuman cenderung tidak diulang.
Dengan demikian perilaku individu di waktu mendatang dapat diperkirakan atau
dipelajari dari pengalaman di waktu yang lalu.
Proses pembentukan perilaku ini secara sederhana
dapat dijabarkan sebagai berikut: Rangsangan lalu tanggapan kemudian konsekuensi selanjutnya adalah tanggapan
di waktu yang akan dating. Jadi,
perilaku (tanggapan) individu terhadap suatu situasi atau kejadian (stimulus) adalah penyebab
konsekuensi tertentu. Bila konsekuensi itu positif, individu akan memberikan
tanggapan sama terhadap situasi yang sama, tetapi bila konsekuensi tidak
menyenangkan individu akan cenderung merubah perilakunya untuk menghindarkan
dari konsekuensi tersebut.
Hal ini memberikan petunjuk bila manajer akan
mengubah perilaku bawahan, dia harus mengubah konsekuensi dari perilaku
tersebut. Sebagai contoh, seorang karyawan yang sering datang terlambat dapat
dimotivasi agar datang tepat pada waktunya (pengubahan perilaku), dengan memberikan
penghargaan untuk ketepatan
waktu.
Ada empat teknik yang dapat dipergunakan manajer
untuk mengubah perilaku bawahan:
1. Penguatan
positif, bisa penguat primer seperti minuman atau makanan yang memuaskan
kebutuhan-kebutuhan biologis, ataupun penguat sekunder seperti penghargaan
berwujud hadiah, promosi, dan uang.
2. Penguatan
negatif, di mana individu akan mempelajari perilaku yang membawa konsekuensi
tidak menyenangkan dan kemudian menghindari perilaku tersebut di masa mendatang
(avoidance learning).
3. Pemadaman,
dilakukan dengan peniadaan penguatan.
4. Hukuman,
melalui mana manajer mencoba untuk mengubah perilaku bawahan yang tidak tepat
dengan pemberian konsekuensi-konsekuensi negatif.
W. Clay Hammer, telah mengidentifikasikan 6 pedoman
penggunaan teknik-teknik pembentukan perilaku, atau disebut teori belajar (learning theory), yaitu:
1. Jangan
memberikan penghargaan yang sama kepada semua orang.
2. Perhatikan
bahwa kegagalan untuk memberi tanggapan dapatjuga mengubah perilaku.
3. Beritahu
karyawan tentang apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan penghargaan.
4. Beritahu
karyawan tentang apa yang dilakukan secara salah.
5. Jangan
memberi hukuman di depan karyawan lain.
6. Bertindaklah
adil.
c. Teori
Porter ― Lawler
Model Porter ― Lawler adalah teori pengharapan dari motivasi dengan
versi orientasi masa mendatang, dan juga menekankan antisipasi tanggapan atau hasil.
Model pengharapan ini menyajikan sejumlah implikasi
bagi manajer tentang bagaimana seharusnya memotivasi bawahan dan juga implikasi
bagi organisasi. Implikasi model
ini bagi manajer mencakup:
1. Pemberian
penghargaan yang sesuai dengan kebutuhan bawahan.
2. Penentuan
prestasi yang diinginkan
3. Pembuatan
tingkat prestasi yang dapat dicapai
4. Penghubungan
penghargaan dengan prestasi
5. Penganalisaan
faktor-faktor apa yang bersifat berlawanan dengan efektifitas penghargaan
6. Penentuan
penghargaan yang mencukupi atau memadai
Sedangkan implikasi
bagi organisasi adalah meliputi:
1. Sistem
penghargaan organisasi harus dirancang untuk memotivasi perilaku yang
beringinkan
2. Pekerjaan
itu sendiri dapat dibuat sebagai pemberian penghargaan secara intrinsik
3. Atasan
langsung mempunyai peranan penting dalam proses motivasi
d.
Teori Keadilan
Teori
ini mengemukakan bahwa orang akan cenderung membandingkan antara masukan-masukan
yang mereka berikan pada pekerjaannya dalam bentuk pendidikan, pengalaman,
latihan, dan usaha, dengan hasil (penghargaan-penghargaan) yang mereka terima,
seperti juga mereka membandingkan balas jasa yang diterima karyawan lain dengan
yang diterima dirinya untuk pekerjaan yang sama.
Faktor
kunci bagi manajer adalah mengetahui apakah ketidakadilan secara nyata ada.
Ketidakadilan ini akan ditanggapi dengan bermacam-macam perilaku yang berbeda,
misal dengan menurunkan prestasi, mogok kerja, dan sebagainya. Bagi manajer, teori keadilan
memberikan dampak
bahwa penghargaan sebagai motivasi kerja harus diberikan sesuai yang dirasa adil
oleh individu-individu yang bersangkutan.
e. Teori
Tujuan sebagai Motivasi
Dalam
bekerja tujuan bukan harapan. Dalam kenyataannya harapan bersifat subyektif dan
berbeda-beda antara setiap individu, meskipun bekerja pada unit kerja atau
perusahaan yang sama. Tujuan bersumber dari Rencana Strategik dan Rencan
Operasional organisasi/perusahaan, yang tidak dipengaruhi individu dan tidak
mudah berubah-ubah. Oleh karena itu tujuan bersifat obyektif.
Implementasi
dari teori ini di lingkungan suatu perusahaan dapat diwujudkan sebagai berikut:
a.
Tujuan unit kerja atau tujuan
organisasi/perusahaan merupakan fokus utama dalam bekerja. Oleh karena itu para
manajer perlu memiliki kemampuan merumuskannya secara jelas dan terinci, agar
mudah dipahami para pekerja. Untuk itu para manajer perlu membantu pekerja jika
mengalami kesulitan memahami dan menyesuaikan diri dengan tujuan yang hendak
dicapai.
b.
Tujuan perusahaan menentukan tingkat intensitas
pelaksanaan pekerjaan, sesuai dengan tingkat kesulitan mencapainya. Untuk itu
para manajer perlu merumuskan tujuan yang bersifat menantang, sesuai dengan
kemampuan pekerja yang ikut serta mewujudkannya.
c.
Tujuan yang sulit menimbulkan kegigihan dan
ketekunan dalam usaha mencapainya, melebihi dari tujuan yang mudah mencapainya.
Untuk itu para manajer perlu menghargai para pekerja yang berhasil mewujudkan
tujuan unit kerja atau perusahaan yang sulit mencapainya.
Dari
uraian- uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa fungsi motivasi bagi manusia termasuk pekerja adalah sebagai
berikut:
a.
Motivasi berfungsi sebagai energi atau motor
penggerak bagi manusia, ibarat bahan bakar pada kendaraan.
b.
Motivasi merupakan pengatur dalam memilih
alternatif di antara dua atau lebih kegiatan yang bertentangan. Dengan
memperkuat suatu motivasi, akan memperlemah motivasi yang lain, maka seseorang
hanya akan melakukan satu aktivitas dan meninggalkan aktivitas yang lain.
c.
Motivasi merupakan pengatur arah atau tujuan
dalam melakukan aktivitas. Dengan kata lain setiap orang hanya akan memilih dan
berusaha untuk mencapai tujuan, yang motivasinya tinggi dan bukan mewujudkan
tujuan yang lemah motivasinya.
Sehubungan
dengan uraian- uraian di atas, secara sederhana dapat dibedakan dua bentuk
motivasi kerja. Kedua bentuk tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Motivasi Intrinsik
Motivasi ini adalah pendorong kerja yang
bersumber dari dalam diri pekerja sebagai individu, berupa kesadaran mengenai
pentingnya atau manfaat/makna pekerjaan yang dilaksanakannya. Dengan kata lain
motivasi ini bersumber dari pekerjaan yang dikerjakan, baik karena mampu
memenuhi kebutuhan, atau menyenangkan, atau memungkinkan mencapai suatu tujuan,
maupun karena memberikan harapan tertentu yang positif di masa depan.
2. Motivasi
Ekstrinsik
Motivasi
ini adalah pendorong kerja yang bersumber dari luar diri pekerja sebagai
individu, berupa suatu kondisi yang mengharuskannya melaksanakan pekerjaan
secara maksimal. Misalnya berdedikasi tinggi dalam bekerja karena upah/gaji
yang tinggi, jabatan/posisi yanng terhormat atau memiliki kekuasaan yang besar,
pujian, hukuman, dan lain-lain.
Dalam
rangka memotivasi para pekerja, setidak-tidaknya terdapat 3 tanggung jawab
utama seorang manajer. Ketiga tanggung jawab itu adalah:
a. Merumuskan
batasan pelaksanaan pekerjaan bawahannya.
Dalam rumusan tersebut harus
jelas jenis/jumlah (kuantitatif) dan bobot (kualitatif) tugas-tugas yang
menjadi wewenang dan tanggung jawab setiap bawahannya.
b. Menyediakan
dan melengkapi fasilitas untuk pelaksanaan pekerjaannya, agar bagi pekerja yang
memiliki motivasi kerja tinggi tidak menjadi hambatan untuk melaksanakannya
secara maksimal.
c. Memilih
dan melaksanakan cara terbaik dalam mendorong atau memotivasi pelaksanaan
pekerjaan para bawahannya.
2.3 Jenis-jenis Motivasi
Pada garis besarnya motivasi
yang diberikan bisa dibagi menjadi dua yaitu motivasi positif dan motivasi
negatif. Motivasi positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain
agar menjalankan sesuatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan
untuk mendapatkan “hadiah”. Motivasi negatif adalah proses untuk mempengaruhi
seseorang agar mau melakukan sesuatu yang kita inginkan, tetapi teknik dasar
yang digunakan adalah lewat kekuatan ketakutan.
Bukti yang paling dasar
terhadap keberhasilan suatu bentuk motivasi adalah hasil yang diperoleh dari
pelaksanaan suatu pekerjaan. Dari berbagai penelitian, menunjukkan bahwa
penggunaan “ancaman” motivasi negatif, seringkali memberikan hasil yang lebih
banyak, berupa peningkatan produktivitas dalam jangka pendek. Tetapi penggunaan
motivasi positif akan lebih berhasil dalam jangka panjang.
Yang tetap menjadi kesulitan
adalah berapa banyak kita memberikan motivasi positif, dan berapa banyak yang
negatif. Kepada siapa dan kapan kita memberikan masing-masing jenis motivasi
juga bukan merupakan suatu halyang bersifat pasti. Jenis kegiatan ini merupakan
salah satu unsur dari “seni” manajemen. Sesuatu yang sulit dipelajari karena
membutuhkan bakat dan “judgment” dalam penerapannya.
Untuk masing-masing
pendekatan berikut ini, perlu ditekankan bahwa cara-cara tersebut adalah sudah
seni penerapan dan penggunaan yang berlebih-lebihan akan menimbulkan akibat
yang buruk. Meskipun pendekatan tersebut dapat digunakan berlebih-lebihan,
tetapi tidak bisa diingkari kebenaran/manfaat metode- metode tersebut.
1. Penghargaan
terhadap pekerjaan yang dilakukan
Penghargaan terhadap
pekerjaan yang terselesaikan dengan baik akan menyenangkankaryawan.
2. Informasi
Pemberian informasi tentang
mengapa suatu tindakan atau perintah diberikan, bisa merupakan suatu motivaasi
yang negatif. Pemberian informasi yang jelas juga akan sangat berguna untuk
menghindari adanya gosip, desas-desus, dan sebagainya.
3. Pemberian
perhatian yang tulus kepada karyawan sebagai seorang individu
Pemberian perhatian yang
tulus sukar dilakukan oleh seseorang secara “asal” saja. Para karyawan bisa
merasakan apakah suatu perhatian diberikan secara tulus ataukah tidak. Dan juga
kita hendaknya harus berhati-hati dalam memberikan perhatian ini, sebab adanya
konsep “individual differences”.
Suatu perhatian yang diberikan, bisa menimbulkan akibat yang berbeda terhadap
orang yang berbeda. Juga pemberian perhatian hendaknya tidak berlebih-lebihan.
4. Persaingan
Pada umumnya setiap orang
senang bersaing secara jujur. Sikap dasar ini bisa dimanfaatkan oleh para
pimpinan dengan memberikan rangsangan (motivasi) persaingan yang sehat dalam
menjalankan pekerjaan. Pemberian hadiah untuk yang menang merupakan bentuk motivasi
positif.
5. Partisipasi
Partisipasi yang digunakan
sebagai salah satu bentuk motivasi positif bisa dikenal sebagai “democratic management” atau “consultative supervision”. Dengan
dijalankannya partisipasi ini bisa diperoleh beberapa manfaat, seperti bisa
dibuatnya keputusan yang lebih baik (karena banyaknya sumbangan pikiran),
adanya penerimaan yang lebih besar terhadap perintah yang diberikan dan adanya
perasaan diperlukan (feeling of
importance).
6. Kebanggaan
Penggunaan kebanggaan sebagai
alat motivasi atau “overlap” dengan persaingan dan pemberian penghargaan.
Memberikan “tantangan” yang wajar, keberhasilan mengalahkan “tantangan”
tersebut memberikan kebanggaan terhadap para karyawan. Penyelesaian sesuatu
pekerjaan yang dibebankan akan menimbulkan rasa puas dan bangga. Apalagi kalau
pekerjaan tersebut memang sudah “disepakati bersama”.
7. Uang
Uang jelas merupakan suatu alat motivasi yang
berguna untuk memuaskan kebutuhan ekonomi karyawan. Kalau kita bertanya kepada
seorang karyawan, mengapa ia bekerja, jawaban yang sering diberikan adalah
untuk mendapatkan uang. Meskipun demikian sebenarnya para karyawan bisa
dimotivasi dengan alat motivasi yang lain. Penggunaan uang sebagai alat
motivasi terutama berguna untuk memuaskan kebutuhan yang bersifat pisiologis.
BAB
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Motivasi adalah filsafat, atau pandangan
hidup yang dibentuk berdasar kebutuhan dan keinginan karyawan. Kata motivasi (motivation) kata dasarnya adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang
melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang
mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang
berlangsung secara sadar.
2. Manajer
dapat membeli waktu karyawan, manajer dapat membeli kemampuan phisik karyawan,
dan sebagainya, tetapi manajer tidak dapat membeli antusiasme, inisiatif,
kesetiaan, penyerahan hati, jiwa, dan akal budinya. Manajer harus memperoleh
hal-hal tersebut.
3. Motivasi
positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar menjalankan
sesuatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapatkan
“hadiah”. Motivasi negatif adalah proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau
melakukan sesuatu yang kita inginkan, tetapi teknik dasar yang digunakan adalah
lewat kekuatan ketakutan.
3.2
Saran
1.
Sebaiknya menggunakan cara yang paling
tepat dalam memotivasi bawahannya, agar bawahan bisa melaksanakan pekerjaan
dengan efisien dan bertanggung jawab.
2. Karena tiap manajer memiliki ciri khasnya tersendiri,
maka cara yang paling tepat dalam memotivasi karyawan adalah dengan cara
menggunakan pendekatan motivasi sesuai dengan waktu dan keadaan
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Hanandoko,
Hani, T. 2009. Manajemen. Yogyakarta:
BPFE-YOGYAKARTA
Husnan, Suad Danheidjarachman. 2001. Manajemen Personalia. Yogyakarta : BPFE Yogyakarta
Nawawi, Hadari. 2001.
Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis yang Kompetitif. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Siagian, Sondang, P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta : Bumi Aksara
Internet :
Diakses pada 19 April 2014
No comments:
Post a Comment